The Emptiness
Laju kereta berderu memekikkan telinga di pagi hari yang berdebu. Semua orang berbondong-bondong mencari cara membayar kehidupan yang Tuhan berikan di bumi. Katanya, kalau tidak pergi bekerja, mau makan apa? Sedangkan makan adalah salah satu cara bertahan hidup.
Asap mengepul di udara dari bibir seorang gadis yang kebingungan. Menatap kehampaan di dalam dirinya sendiri. Dua tahun lalu cerita yang ditulisnya hanya sekedar kisah elegi di ruang kesementaraan. Hari ini dia menulis tentang definisi dirinya sendiri. Kehampaan.
Dia berjalan menyusuri jalan setapak yang berlubang dengan sepatu usang kesukaannya yang dia beli dengan uangnya sendiri. Sepatu seharga satu bulan gaji pekerja di kota besar itu sudah menemaninya beberapa tahun terakhir. Mengikuti langkahnya mencari Tuhan.
Pertanyaan awalnya sederhana, apakah Tuhan benar-benar ada? Kemudian setelah dia memercayai keberadaan Tuhan dengan akalnya, dia mempertanyakan sifat Tuhan. Hingga hari ini, banyak hal tentang Tuhan yang begitu terasa seperti misteri baginya.
Perempuan dengan hati berlubang itu tidak ingin memuja Tuhan tanpa alasan, dia hanya ingin benar-benar mengenal sesuatu yang diyakininya sebagai hal paling superpower. Orang-orang mungkin akan menyebutnya tak beriman atau bahkan mengafirkannya. Orang-orang yang membuatnya semakin berpikir, iyakah jika agama saat ini adalah bentuk keimanan atau justru sekedar fanatisme?
Gadis itu terus melangkah sambil bergumam. "Mengapa aku ada? Mengapa ada aku?" katanya.
Dia berhenti tatkala seorang lelaki menghadangnya. Laki-laki itu berkata bahwa si gadis ada karena Tuhan menciptakannya.
Datang lagi laki-laki lain berkemeja hitam dan berkata bahwa si gadis ada karena orang tuanya.
Laki-laki ketiga datang dan tersenyum. "Kamu ada karena sintesis protein yang terus terjadi dalam DNA-mu sehingga DNA itu terus bereplikasi."
Perempuan rapuh itu membuang puntung rokok yang baranya masih menyala itu ke selokan. Dia menggeleng kecewa dan melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan semua laki-laki yang menghalanginya.
Dia semakin berpikir sambil berjalan dan memandang sepatunya. Betapa otoriternya Tuhan memberinya kehidupan yang bahkan tidak pernah dia minta. Kemudian dia harus membayar untuk bertahan di kehidupan yang tidak pernah dia minta. Lalu manusia lain memberikannya doktrin untuk takut pada kehidupan setelah kematian. Membuatnya tidak punya pilihan selain terus hidup dan mempertanyakan alasannya.
Lelaki kedua kini mengambil alih pikirannya. Si kecil bertanya, jika dia lahir sebagai konsekuensi keputusan dewasa orang tuanya, mengapa dia harus terus merasa berhutang kepada orang tua yang membuatnya memiliki kehidupan? Kehidupan yang tidak pernah dia minta. Bukankah kelahirannya menjadi keinginan orangtua? Lantas mengapa dia yang berhutang seumur hidupnya?
Dia sedikit tersenyum mengingat laki-laki berkaca mata yang terakhir menghalanginya dan bicara tentang DNA. Jawaban biologi hanya akan menambah kekaguman perempuan itu pada Tuhan tetapi tidak menjawab pertanyaannya. Dia tidak hidup untuk terus mereplikasi DNA-nya tetapi replikasi itulah yang terus terjadi untuk memastikan perkembangan dan pertumbuhan kehidupannya.
Jadi, apa alasannya untuk tetap hidup di kehidupan yang tidak dia inginkan itu?
Awan mulai menghitam perlahan. Membuat pagi kelabu itu menjadi semakin mencekam. Perempuan kecil itu berhenti di sebuah jembatan. Memandang sungai keruh penuh sampah di bawahnya. Tentu itu bukan tempat mati yang menyenangkan sehingga dia harus menunda niatnya.
Dia pulang ke rumah, mencium tangan ibunya, lalu kembali ke kamarnya untuk kembali menulis. Dia memang suka menulis sejak dia suka membaca. Penulis kesukaannya ialah Enid Blyton. Penulis buku seri anak-anak tapi membuatnya sadar, buku yang dibacanya benar-benar membentuk karakter sosialnya.
Tidak ada yang tahu gadis itu punya pemikiran yang hitam sedangkan dia suka memberikan warna untuk orang lain. Teman-temannya menganggapnya gadis kecil yang ramah dan suka bercanda. Dia selalu riang dan berteman dengan siapa saja. Terkadang, dia sadar bisa memengaruhi beberapa lingkaran di sekitarnya.
Meski begitu, dia seorang pemarah. Dia ingin memukul dengan menatap, dia ingin membunuh dengan memukul. Tak banyak pula orang yang menduga seberapa besar dia bisa marah karena dia tidak suka menunjukkannya sebagaimana segala karakter buruk lainnya yang dia simpan. Persis seperti Darrel Rivers pada buku seri Malory Towers karya Enid Blyton.
Sembilan tahun lalu, tulisannya juga menyenangkan dengan kisah persahabatan seperti kisah Darrel. Kemudian, dia mulai membaca buku-buku lainnya dan membuatnya menjadi tokoh dengan berbagai karakter tambahan lainnya.
Sebenarnya, dia sudah cukup usia untuk disebut wanita tetapi dia menolak menjadi dewasa hingga dia bisa mencintai dirinya sendiri.
Dia selalu ingin dicintai siapa pun. Tuhan dan manusia. Dia lebih mencintai apapun dibanding dirinya sendiri. Dia tidak benar-benar altruisme, dia hanya belum menemukan alasan yang tepat untuk mencintai dirinya sendiri.
Gadis itu tahu betul seburuk apa dia tetapi dia tidak pernah tahu sehebat apa dia. Semua yang dilakukannya untuk mencapai titik-titik tertentu semata-mata selalu mencari pengakuan dari orang lain bahwa dia bisa berada di puncak tetapi yang dia dapati ialah bukan apa-apa.
Orang peduli ketika dia di bawah, tapi acuh ketika dia merangkak naik.
Aku akui dia punya ambisi untuk terus naik. Entah untuk kesenangannya sendiri atau lagi-lagi untuk membuktikan kepada orang-orang yang meremehkannya bahwa dia bukan keledai.
Meski begitu dia begitu jahat kepada dirinya sendiri. Dia kesulitan memaafkan kesalahan yang dibuatnya sendiri dan dia yang paling tahu kesalahannya. Semakin begitu, semakin dia membenci dirinya. Semakin begitu, semakin dia mempertanyakan alasan hidupnya.
Tiga tahun lalu, dia menulis puisi cinta. Menggambarkan kepak sayap kupu-kupu di perutnya atau jutaan duri kecil di rongga dada bagian tengahnya tetapi saat ini berbeda. Dia belum merasa senang, dia belum merasa sedih, dia belum merasa cinta, dia hanya marah sesekali, tertawa pada kejenakaan dunia, dia begitu hampa. Dia adalah aku.

Comments
Post a Comment