Kisah Si Senin Pagi






Tak ada yang istimewa dari Senin pagi yang agak mendung. Angin yang menerpa wajah mampu menjadi prolog dari cerita yang akan dikisahkan bibir-bibir manusia. Senin pagi, semua orang berbondong-bondong menuju kota. Memadatkan jalan raya yang basah karena hujan semalam. Aku selalu memilih angkutan umum untuk pergi ke kampus yang tak begitu jauh. Kuhentikan sebuah mobil angkot merah dipersimpangan jalan.


Angkot merah pagi ini tak terlalu penuh. Hanya ada aku, seorang laki-laki berpakaian formal dan seorang wanita yang mungkin berusia 30-35 tahun. Tak ada percakapan sedikit pun. Yang terdengar hanya lagu Troye Sivan yang terdengar dari earphone yang tersambung pada ponselku.


Aku merasa wanita di sebelahku memandangiku. Aku tersenyum melihatnya, dan wanita itu membalas senyumku. Aku kembali memandangi layar ponsel untuk memilih lagu-lagu yang ingin kudengarkan. "Neng," ucap wanita di sebelahku sambil menyentuh lengan kananku. Aku sedikit terkejut, lalu menoleh padanya sambil melepas earphone di telinga kananku.


"Mau kemana Neng?" tanyanya dengan volume suara yang rendah.

"Ke kampus Bu," sahutku memandangi wajahnya. Kerutan di dekat matanya sedikit menghitam dan matanya agak memerah.

"Oh udah kuliah Neng? Jurusan apa?"

"Jurnalistik Bu."

"Ohh berarti suka belajar bikin berita ya?"

"Iya Bu."

"Kalau nanti kamu lulus, tolong buat berita tentang orang-orang seperti saya ya."

Aku mengerutkan dahiku bingung. "Maksudnya gimana Bu?" tanyaku.


Wanita itu menunduk sesaat lalu kembali memandang wajahku. Dia menghela napas cukup dalam sebelum memulai ceritanya. Wanita itu menceritakan bahwa anak laki-lakinya yang duduk di kelas 5 SD baru saja mendapatkan kekerasan dari ayah temannya.

***

Suatu siang sepulang sekolah, segerombolan anak bermain bola di pekarangan rumah milik salah satu dari mereka. Anak laki-laki memang selalu bersemangat bermain bola. Mereka berteriak-teriak agar temannya mengoper bola. Bola itu pun akhirnya berhenti di kaki seorang anak laki-laki bertubuh kurus. Anak itu menendang bola dengan semangat hingga memecahkan pot tanaman pemilik rumah.


Karena hal itu, seorang laki-laki bertubuh besar keluar dari rumah dan terlihat gusar. Dia menghampiri gerombolan anak-anak tadi dan memarahi mereka. Seorang anak laki-laki yang menendang bola hingga memecahkan pot tadi dipukul beberapa kali hingga kepalanya berdarah.


***

Wanita disebelahku menghentikan ceritanya sesaat. Tangannya yang agak basah meremas telapak tangan kananku. "Ibu sudah lapor polisi?" tanyaku. Ibu itu melihat jalanan diluar angkot ini yang masih terhambat di sekitar stasiun Lenteng Agung. Macetnya pagi ini tidak terasa bagiku.


"Saya enggak berani Neng," ucapnya.

"Kenapa nggak berani Bu?"

"Saya ini cuma orang kecil, Neng. Saya nggak mau ada urusan sama polisi, saya takut dan nggak ngerti gimana caranya dapat keadilan kalau saya lapor polisi."

Aku menganggukan kepalaku, mulai paham dengan stereotype ini. "Anak ibu gimana kabarnya sekarang?" tanyaku lagi.

"Kepalanya baru selesai dijahit, Neng. Untungnya bapak yang mukul dia mau tanggung jawab bayarin rumah sakit. Tapi kasihan anak saya sekarang, dia pasti ketakutan."

Aku melihat jalanan saat kudengar suara palang kereta. Ah, aku sudah sampai jembatan kali di depan kampus dan angkotku berhenti karena ada kereta yang akan melintas. "Saya harus turun disini, Bu. Mudah-mudahan anak ibu cepat sehat ya," pamitku.

Wanita itu tersenyum getir. "Iya Neng. Terima kasih mau dengerin saya. Mudah-mudahan Neng cepet lulus ya supaya bisa nulis berita."

"Terima kasih juga ya Bu."


Aku turun dari angkot merah itu, lalu menyebrangi jalan raya menuju kampus. Senin memang baru dimulai, tapi sebuah bibir telah bertutur menyuarakan isi hatinya. Akan ada bibir-bibir lain yang berkisah hari ini kan?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Emptiness

Seseorang di Seberang Lautan

Puisi di Pojok Kelas